Pelaut Nautika kapal niaga
Rabu, 10 Juli 2013
Alat dan Bahan serta peralatan Navigasi Penuntun
ALAT DAN BAHAN SERTA PERALATAN NAVIGASI PENUNTUN
A., AlAT DAN BAHAN
Alat dan bahan ad/ peralatan’’ yg di gunakan un/ merencanakan suatu pelayaran . Alat dan bahan yg di butuhkan antara lain yaitu :
1. Katalok Peta
Katalok peta ad/ kumpulan peta’’ yg ada di dunia, yg digunakan un/ menyambung peta’’ berdasarkan nomor” peta yg akan dipakai atau digunakan dlm merencanakan pelayaran
2. Peta
Peta ad/ gambar seluruh atau bagian dari bumi yg dipindahkan kebidang datar
3. Pensil
Yaitu suatu alat yg di gunakan untuk menulis/melukis di atas peta
4. Penghapus karet
Yaitu suatu alat yg digunakan untuk menghilangkan/membersihkan tulisan yg ads di peta
5. Mistar Jajar
Yaitu suatu alat yg digunakan untuk melukis garis yg sejajar baringan di atas peta dengan bantuan mawar pedoman yg ada di peta
6. Jangka
Yaitu suatu alat yg digunakan untuk penentuan posisi kapal jg digunakan untuk menentukan lintang dan bujur berapa posisi kapal serta digunakan untuk memperkirakan waktu tiba.
Jangka di bagi beberapa bagian, beberapa diantanya adalah:
a. Jangka Semat ad/ suatu alat yg digunakan untuk menjangka beberapa kali untuk membagi sebuah garis yg jaraknya sm dgn menentukan atau mengetahui jarak tempuh tolak dan tempuh tiba
b. Jangka Potlot ad/ suatu alat yg digunakan untuk melukis lingkaran dan memindahkan jarak yg tertentu pada garis lain
c. Jangka Datar ad/ suatu alat yg digunakan untuk bernavigasi yg bentuknya memiliki sebuah lingkaran serta tiga kales” tengah merupakan kales yg melekat pada lingkaran
7. Busur Derajad
Yaitu suatu alat yg digunakan untuk melukis garis baringan dengan ½ lingkaran
8. Meja Peta
Yaitu tempat untuk meletakan atau menyimpan peta yang akan di pakai dalam suatu pelayaran
9. Penerangan Diruang Peta
Yaitu suatu alat yang digunakn untuk menerangi ruang peta jika ingin menentukan posisi
10. Buku Daftar Defiasi
Yaitu suatu alat yg digunakan untuk menentukan untuk mengetahui deviasi” dimana kita berada pada saat pengambilan posisi dalam suatu pelayaran
11. Buku Daftar Pasang Surut
Buku daftr pasang surut di gunakan untuk mengetahui air laut, waktu surut atau waktu pasang
12. Penjepit Peta
Ad/ suatu alat yg di gunakan untuk menjepit peta supaya tidak goyang atau terbang
13. Rautan Pensil
Ad/ suatu alat yg digunakan untuk meruncingkan pensil
14. Mistar Segitiga
Ad/ suatu alat yg digunakan umtuk membuat garis baringan maupun arah kapal
B. PERALATAN NAVIGASI PENUNTUN
Peralatn navigasi ad/ alat-alat yang di perlukan dan sangat penting bagi seorang navigator, peralatan yang di butuhkan antara lain:
1. RDF (RADIO DIRECTION FINDER)
RDF (Radio Direction Finder) ad/ suatu alat yang digunakan untuk mengetahui posisi lintang dan bujur apabila kapal kehilangan pada perjalanan pelayaran
2. KOMPAS
Kompas digunakan untuk menentukan arah atau haluan kapal pada saat kita melakukan pelayaran.
3. RADAR (RADIO DETECTION AND RANGE)
Penggunaan Radar antar lain:
a. Untuk menentukan posisi kapal secara terus-menerus setiap saat (jika titik orentasi) masih berada dalam batas ukur radar
b. Untuk mengetahui kecepatan kapal lain sedang berlayar atau benda bergerak lainnya di laut
c. Untuk system pengawasan (warning system)
d. Anti pencegah tubrukan (colution system)
4. INDIKATOR KEMUDI
Indikator Kemudi ad/ alat yang digunakan untuk mengetahui beberapa derajat putaran kemudi yang sedang di kemudikan
5. PERUM
Perum ad/ alat pengukur kedalaman air yang harus ada di kapal digunakan untuk mengetahui kedalaman perairan yang ada disekeliling kapal meskipun dipeta sudah terdapat kedalamannya tetapi untuk mengecek kedalaman air di sekelilingnya
6. KLINO METER
Klino Meter ad/ suatu alat yang digunakan untuk mengetahui keseimbangan kemiringan suatu kapal
7. TOPDAL
Topdal ad/ alat yang digunakan untuk sebagai berikut:
a. Menduga dimana posisi kapal kita
b. Mengatur kecepatan kapal sehingga dapat menentukan saat tiba di anjungan
c. Topdal pilot ad/ suatu topdal tekan yang bekerja karena tekanan sendiri yang timbul pada lubang pilot sewaktu kapal bergerak kedepan
8. KRONO METER
Krono Meter ad/ suatu alat atau jam yang digunakan untuk mencocokkan waktu setempat dengan jam greun wich dan mampu menunjukkan waktu secara saksama
9. WIND SPEED
Wind Speed ad/ suatu alat yang digunakan untuk mengetahui keseimbangan dan kemiringan kapal.
10. ECHO SOUNDER
Echo Sounder ad/ suatu alat yang digunakan untuk mengukur kedalaman air laut mulai dari dasar lunas kapal sampai dasar laut.
11. WIND DIDEKTOR
Wind Didektor ad/ suatu alat yang digunakan untuk mengetahui arah kapal
12. TEROPONG
Teropong ad/ suatu alat yng digunakan untuk memperjelas penglihatan terhadap benda” yang jaraknya jauh dan tidak bias dilihat dengan mata telanjang (visual)
13. WINDOW WIPER
Window Wiper ad/ suatu alat yang digunakan pada saat cuaca berkabut, alat ini berputar membersihkan kabut dijendela anjungan agar tidak menghalangi navigator
14. TELEORAFH
Teleorafh ad/ suatu alat yang digunakan untuk mengontrol maju mundunya kapal.
15. SEXTAN
Sextan ad/ suatu alat yang digunakan untuk mengetahui atau mengukur dalam sudut dalam bidang datar dan vertical di kapal.
16. FACSIMILE
Facsimile ad/ suatu alat yang digunakan untuk mengetahui keadaan cuaca
17. BARO METER
Baro Meter ad/ suatu alat yang di gunakan setiap kapal karena baro meter ini berfungsi untuk mengetahui tekana suhu udara
18. KOG HORN
Kog Horn ad/ suatu alat insyarat bunyi yang dipakai pada saat cuaca berkabut
19. KEMUDI
Kemudi ad/ suatu alat yang menggerakkan kapal beberapa derajat ke kiri atau ke kanan. Besar sudut yang dikemudikan dapat dilihat pada indicator kemudi
20. GPS (GLOBAL POSITION SYSTEM)
GPS ad/ suatu alat untuk mengetahui lintang dan bujur serta untuk menentukan posisi maupun kecepatan kapal.
Marpol
Memahami Isi dari “MARPOL”
Bicara tentang pencemaran di laut, hal yg sangat berhubungan dekat sekali dgn pelaut di keseharianya. jika kita lalai dan terjadi musibah tumpahan minyak di laut, dampaknya sangat luar biasa sekali. bukan hanya lingkungan biota laut yg teracam kitapun sebagai pelaut bisa berhubungan dengan hukum dimana negara perairan yg kita layari. maka dari itu hindari kesalahan gunahkanlah management yg baik di atas kapal. pencatatan oil record book yg up to date dan juga system waste management yg terkontrol. banyak rekan kita pelaut terkadang menganggap sepeleh hal ini. ya. itulah manusia terkadang belum sadar jika sudah dapat musibah penyesalan datang belakangan. untuk menghindari hal tersebut mari sama sama mendalami apa yg di maksud marpol itu. saya akan menguraikan sejelasnya apa yg saya tahu.
1. A. SEJARAH KONVENSI MARPOL
Sejak peluncuran kapal pengangkut minyak yang pertama GLUCKAUF pada tahun 1885 dan penggunaan pertama mesin diesel sebagai penggerak utama kapal tiga tahun kemudian, maka fenomena pencemaran laut oleh minyak mulai muncul.
Baru pada tahun 1954 atas prakarsa dan pengorganisasian yang dilakukan oleh Pemerintah Inggris (UK), lahirlah “Oil Pullution Convention, yang mencari cara untuk mencegah pembuangan campuran minyak dan pengoperasian kapal tanker dan dari kamar mesin kapal lainnya.
Sebagai hasilnya adalah sidang IMO mengenai “international Conference on Marine Pollution” dari tanggal 8 Oktober sampai dengan 2 Nopember 1973 yang menghasilkan “international Convention for the Prevention of Oil Pollution from Ships” tahun 1973, yang kemudian disempurnakan dengan TSPP (Tanker Safety and Pollution Prevention) Protocol tahun 1978 dan konvensi ini dikenal dengan nama MARPOL 1973/1978 yang masih berlaku sampai sekarang.
Difinisi mengenai “Ship” dalam MARPOL 73/78 adalah sebagai berikut:
“Ship means a vessel of any type whatsoever operating in the marine environment and includes hydrofoil boats, air cushion vehhicles, suvmersibles, ficating Craft and fixed or floating platform”.
Jadi “Ship” dalam peraturan lindungan lingkungan maritim adalah semua jenis bangunan yang berada di laut apakah bangunan itu mengapung, melayang atau tertanam tetap di dasar laut.
1. B. ISI PERATURAN MARPOL
Peraturan mengenai pencegahan berbagai jenis sumber bahan pencemaran lingkungan maritim yang datangnya dari kapal dan bangunan lepas pantai diatur dalam MARPOL Convention 73/78 Consolidated Edition 1997 yang memuat peraturan :
1. International Convention for the Prevention of Pollution from Ships 1973.
Mengatur kewajiban dan tanggung jawab Negara-negara anggota yang sudah meratifikasi konvensi tersebut guna mencegah pencemaran dan buangan barang-barang atau campuran cairan beracun dan berbahaya dari kapal. Konvensi-konvensi IMO yang sudah diratifikasi oleh Negara anggotanya seperti Indonesia, memasukkan isi konvensi-konvensi tersebut menjadi bagian dari peraturan dan perundang-undangan Nasional.
2. Protocol of 1978
Merupakan peraturan tambahan “Tanker Safety and Pollution Prevention (TSPP)” bertujuan untuk meningkatkan keselamatan kapal tanker dan melaksanakan peraturan pencegahan dan pengontrolan pencemaran laut yang berasal dari kapal terutama kapal tanker dengan melakukan modifikasi dan petunjuk tambahan untuk melaksanakan secepat mungkin peraturan pencegahan pencemaran yang dimuat di dalam Annex konvensi.
Karena itu peraturan dalam MARPOL Convention 1973 dan Protocol 1978 harus dibaca dan diinterprestasikan sebagai satu kesatuan peraturan.
Protocol of 1978, juga memuat peraturan mengenai :
- a. Protocol I
Kewajiban untuk melaporkan kecelakaan yang melibatkan barang beracun dan berbahaya.
Peraturan mengenai kewajiban semua pihak untuk melaporkan kecelakaan kapal yang melibatkan barang-barang beracun dan berbahaya. Pemerintah Negara anggota diminta untuk membuat petunjuk untuk membuat laporan, yang diperlukan sedapat mungkin sesuai dengan petunjuk yang dimuat dalam Annex Protocol I.
Sesuai Article II MARPOL 73/78 Article III “Contents of report” laporan tersebut harus memuat keterangan :
• Mengenai identifikasi kapal yang terlibat melakukan pencemaran.
• Waktu, tempat dan jenis kejadian
• Jumlah dan jenis bahan pencemar yang tumpah
• Bantuan dan jenis penyelamatan yang dibutuhkan
Nahkoda atau perorangan yang bertanggung jawab terhadap insiden yang terjadi pada kapal wajib untuk segera melaporkan tumpahan atau buangan barang atau campuran cairan beracun dan berbahaya dari kapal karena kecelakaan atau untuk kepentingan menyelamatkan jiwa manusia sesuai petunjuk dalam Protocol dimaksud.
- b. Protocol II mengenai Arbitrasi
Berdasarkan Article 10”setlement of dispute”. Dalam Protocol II diberikan petunjuk menyelesaikan perselisihan antara dua atau lebih Negara anggota mengenai interprestasi atau pelaksanaan isi konvensi. Apabila perundingan antara pihak-pihak yang berselisih tidak berhasil menyelesaikan masalah tersebut, salah satu dari mereka dapat mengajukan masalah tersebut ke Arbitrasi dan diselesaikan berdasarkan petunjuk dalam Protocol II konvensi.
Selanjutnya peraturan mengenai pencegahan dan penanggulangan pencemaran laut oleh berbagai jenis bahan pencemar dari kapal dibahas daam Annex I s/d V MARPOL 73/78, berdasarkan jenis masing-masing bahan pencemar sebagai berikut :
Annex I Pencemaran oleh minyak Mulai berlaku 2 Oktober 1983
Annex II Pencemaran oleh Cairan Beracun (Nuxious Substances) dalam bentuk Curah Mulai berlaku 6 April 1987
Annex III Pencemaran oleh barang Berbahaya (Hamful Sub-Stances) dalam bentuk Terbungkus Mulai berlaku 1 Juli 1991
Annex IV Pencemaran dari kotor Manusia /hewan (Sewage)
diberlakukan 27 September 2003
Annex V Pencemaran Sampah Mulai berlaku 31 Desember 1988
Annex VI Pencemaran udara belum diberlakukan
Peraturan MARPOL Convention 73/78 yang sudah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia, baru Annex I dan Annex II, dengan Keppres No. 46 tahun 1986.
1. C. TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB NEGARA ANGGOTA MARPOL 73/78
1. Menyetujui MARPOL 73/78 – Pemerintah suatu negara
2. Memberlakukan Annexexes I dan II – Administrasi hukum / maritim
3. Memberlakukan optimal Annexes dan melaksanakan – Administrasi hukum / maritim.
4. Melarang pelanggaran – Administrasi hukum / maritim
5. Membuat sanksi – Administrasi hukum / maritim
6. Membuat petunjuk untuk bekerja – administrasi maritim
7. Memberitahu Negara-negara yang bersangkutan – administrasi maritim.
8. Memberitahu IMO – Administration maritim
9. Memeriksa kapal – Administrasi maritim
10. Memonitor pelaksanaan – Administrasi maritim
11. Menghindari penahanan kapal – Administrasi kapal
12. Laporan kecelakaan – Administrasi maritim / hukum
13. Menyediakan laporan dokumen ke IMO (Article 11) – Administrasi maritim
14. Memeriksa kerusakan kapal yang menyebabkan pencemaran dan melaporkannya – Administrasi maritim.
15. Menyediakan fasilitas penampungan yang sesuai peraturan – Administrasi maritim.
1. D. YURISDIKSI PEMBERLAKUAN MARPOL 73/78
MARPOL 73/78 memuat tugas dan wewenang sebagai jaminan yang relevan bagi setiap Negara anggota untuk memberlakukan dan melaksanakan peraturan sebagai negara bendera kapal, Negara pelabuhan atau negara pantai.
• Negara bendera kapal adalah Negara dimana suatu kapal didaftarkan
• Negara pelabuhan adalah Negara dimana suatu kapal berada di pelabuhan Negara itu.
• Negara pantai adalah Negara dimana suatu kapal berada di dalam zona maritim Negara pantai tersebut.
MARPOL 73/78 mewajibkan semua Negara berdera kapal, Negara Pantai dan Negara pelabuhan yang menjadi anggota mengetahui bahwa :
“ Pelanggaran terhadap peraturan konvensi yang terjadi di dalam daerah yurisdiksi Negara anggota dilarang dan sanksi atau hukuman bagi yang melanggar dilakukan berdasarkan Undang-Undang Negara anggota itu”.
1. a. Juridiksi legislatif Negara bendera kapal
Berdasarkan hukum Internasional, Negara bendera kapal diharuskan untuk memberlakukan peraturan dan mengontrol kegiatan berbendera Negara tersebut dalam hal administrasi, teknis dan sarana sosial termasuk mencegah terjadi pencemaran perairan.
Negara bendera kapal mengharuskan kapal berbendera Negara itu memenuhi standar Internasional (antara lain MARPOL 73/78).
Tugas utama dari negara bendera kapal adalah untuk menjamin bahwa kapal mereka memnuhi standar teknik di dalam MARPOL 73/78 yakni :
• memeriksa kapal-kapal secara periodik
• menerbitkan sertifikat yang diperlukan
1. b. Juridiksi legislatif Negara pantai
Konvensi MARPOL 73/78 meminta Negara pantai memberlakukan peraturan konvensi pada semua kapal yang memasuki teoritialnya dan, tindakan ini dibenarkan oleh peraturan UNCLOS 1982, asalkan memenuhi peraturan konvensi yang berlaku untuk lintas damai (innocent passage) dan ada bukti yang jelas bahwa telah terjadi pelanggaran.
1. c. Juridiksi legislatif Negara pelabuhan
Negara anggota MARPOL 73/78 wajib memberlakukan peraturan mereka bagi semua kapal yang berkunjung ke palabuhannya. Tidak ada lagi perlakuan khusus bagi kapal-kapal yang bukan anggota.
Ini berarti ketaatan pada peraturan MARPOL 73/78 merupakan persyaratan kapal boleh memasuki pelabuhan semua Negara anggota.
Adalah wewenang dari Negara pelabuhan untuk memberlakukan peraturan lebih ketat tentang pencegahan pencemaran sesuai peraturan mereka. Namun demikian sesuai UNCLOS 1982 peraturan seperti itu harus dipublikasikan dan disampaikan ke IMO untuk disebar luaskan.
1. E. CARA-CARA UNTUK MEMENUHI KEWAJIBAN DALAM MARPOL 73/78
Persetujuan suatu Negara anggota untuk melaksanakan MARPOL 73/78 diikuti dengan tindak lanjut dari Negara tersebut di sektor-sektor :
• Pemerintah
• Administrasi bidang hukum
• Administrasi bidang maritim
• Pemilik kapal
• Syahbandar (port authorities)
1. a. Pemerintah
Kemauan politik dari suatu Negara untuk meratifikasi MARPOL 73/78 merupakan hal yang fundamental. Dimana kemauan politik itu didasarkan pada pertimbangan karena :
1. Kepentingan lingkungan maritim di bawah yurisdiksi Negara itu.
2. Keuntungan untuk pemilik kapal Negara tersebut (Kapal-kapalnya dapat diterima oleh dunia Internasional).
3. Keuntungan untuk ketertiban di pelabuhan Negara itu (dapat mengontrol pencemaran) atau
4. Negara ikut berpartisipasi menjaga keselamatan lingkungan internasional.
Pertimbangan dan masukan pada Pemerintah untuk meretifikasi konvensi diharapkan datang dari badan administrasi maritim atau badan administrasi lingkungan dan dari industri maritim.
Dalam konteks ini harus diakui bahwa Negara anggota MARPOL 73/78 menerima tanggung jawab tidak membuang bahan pencemar ke laut, namun demikian di lain pihak mendapatkan hak istimewa, perairannya tidak boleh dicemari oleh Kapal Negara anggota lain. Kalau terjadi pencemaran di dalam teritorial mereka, mereka dapat menuntun dan meminta ganti rugi. Negara yang bukan anggota tidak menerima tanggung jawab untuk melaksanakan peraturan atas kapal-kapal mereka, jadi kapal-kapal-kapal mereka tidak dapat dituntut karena tidak memenuhi peraturan (kecuali bila berada di dalam daerah teritorial Negara anggota).
Namun demikian harus diketahui pula bahwa Negara yang tidak menjadi anggota berarti kalau pantainya sendiri dicemari, tidak dapat memperoleh jaminan sesuai MARPOL 73.78 untuk menuntut kapal yang mencemarinya.
b. Administrasi hukum
Tugas utama dari Administrasi hukum adalah bertanggung jawab memberlakukan peraturan yang dapat digunakan untuk melaksanakan peraturan MARPOL 73/78. Untuk memudahkan pekerjaan Administrasi hukum sebaiknya ditempatkan dalam satu badan dengan Administrasi maritim yang diberikan kewenangan meratifikasi, membuat peraturan dan melaksanakannya.
Agar peraturan dalam MARPOL 73/78 mempunyai dasar hukum untuk dilaksanakan, maka peraturan tersebut harus diintegrasikan ke dalam sistim perundang-undangan Nasional. Cara pelaksanaannya sesuai yang digambarkan dalam diagram berikut.
c. Administrasi maritim
Administrasi maritim yang dibentuk pemerintah bertanggung jawab melaksanakan tugas administrasi pemberlakuan peraturan MARPOL 73/78 dan konvensi-konvensi maritim lainnya yang sudah diratifikasi. Badan ini akan memberikan masukan pada Administrasi hukum dan Pemerintah di satu pihak dan membina industri perkapalan dari Syahbandar dipihak lain yang digambarkan dalam diagram berikut.
Tugas dari Administrasi maritim ini adalah melaksanakan MARPOL 73/78 bersama-sama dengan beberapa konvensi maritim lainnya. Disarankan untuk meneliti tugas-tugas tersebut guna identifikasi peraturan-peraturan yang sesuai dan memutuskan bagaimana memberlakukannya.
d. Pemilik Kapal
Pemilik kapal berkewajiban membangun dan melengkapi kapal-kapalnya dan mendiidk pelautnya, perwira laut untuk memenuhi peraturan MARPOL 73/78. Konpetensi dan ketrampilan pelaut harus memenuhi standar minimun yang dimuat dalam STCW-95 Convention.
e. Syahbandar (Port Authorities)
Tugas utama dari Syahbandar adalah menyediakan tempat penampungan buangan yang memadai sisa-sisa bahan pencemar dari kapal yang memadai. Syahbandar juga bertugas untuk memantau dan mengawasi pembuangan bahan pencemar yang asalnya dari kapal berdasarkan peraturan Annexes I, II, IV dan V MARPOL.
F. IMPLEMENTASU PERATURAN MARPOL 7378
Administrasi Maritim dalam melaksanakan tugasnya adalah bertindak sebagai :
1. sebagai pelaksanaan IMO
2. Legislation dan Regulations serta Implementation of Regulations
3. Instruction to Surveyor
4. Delegations of surveyor and issue of certificates
5. Records of Certifications, Design Approval, dan Survey Report
6. Equipment Approval, Issue of certificates dan Violations reports
7. Prosecution of offenders, Monitoring receptions facilities dan Informing IMO as required
Pemerikasaan dan Inspeksi yang dilakukan oleh Surveyor dan Inspektor
Garis besar tugas surveyor dan inspektor melakukan pemeriksaan dalam diagram di atas adalah sebagai berikut :
1. Memeriksa kapal untuk penyetujuan rancang bangun. Tugas ini hendaknya dilakukan oleh petugas yang berkualifikasi dan berkualitas sesuai yang ditentukan oleh kantor pusat Administrasi maritim.
2. Inspeksi yang dilakukan oleh Syahbandar adalah bertujuan untuk mengetahui apakah prosedur operasi sudah sesuai dengan peraturan.
3. Investigasi dan penuntunan. Surveyor dan Inspector pelabuhan harus mampu melakukan pemeriksaan kasus yang tidak memenuhi peraturan konstruksi, peralatan dan pelanggaran yang terjadi. Berdasarkan petunjuk dari pusat Administrasi maritim, petugas tersebut harus dapat menuntut pihak-pihak yang melanggar.
1. G. IMPLEMENTASI PERATURAN MARPOL 73/78
1. Survey & pemeriksaan
2. Sertifikasi
3. Tugas Pemerintah
1. H. DAMPAK PENCEMARAN DI LAUT
Dampak pencemaran barang beracun dan berbahaya terutama minyak berpengaruh terhadap :
1. Dampak ekologi
2. Tempat rekreasi
3. Lingkungan Pelabuhan dan Dermaga
4. Instalasi Industri
5. Perikanan
6. Binatang Laut
7. Burung Laut
8. Terumbu Karang dan Ekosistim
9. Tumbuhan di pantai dan Ekosistim
10. Daerah yang dilindung dan taman laut
1. I. DEFINISI-DEFINISI BAHAN PENCEMAR
Bahan-bahan pencemar yang berasal dari kapal terdiri dari muatan yang dimuat oleh kapal, bahan bakar yang digunakan untuk alat propulsi dan alat lain di atas kapal dan hasil atau akibat kegiatan lain di atas kapal seperti sampah dan segera bentuk kotoran.
Definisi bahan-bahan pencemar dimaksud berdasarkan MARPOL 73/78 adalah sebagai berikut :
1. “Minyak” adalah semua jenis minyak bumi seperti minyak mentah (crude oil) bahan bakar (fuel oil), kotoran minyak (sludge) dan minyak hasil penyulingan (refined product)
2. “Naxious liquid substances”. Adalah barang cair yang beracun dan berbahaya hasil produk kimia yang diangkut dengan kapal tanker khusus (chemical tanker)
Bahan kimia dimaksud dibagi dalam 4 kategori (A,B,C, dan D) berdasarkan derajad toxic dan kadar bahayanya.
Kategori A : Sangat berbahaya (major hazard). Karena itu muatan termasuk bekas pencuci tanki muatan dan air balas dari tanki muatan tidak boleh dibuang ke laut.
Kategori B : Cukup berbahaya. Kalau sampai tumpah ke laut memerlukan penanganan khusus (special anti pollution measures).
Kategori C : Kurang berbahaya (minor hazard) memerlukan bantuan yang agak khusus.
Kategori D : Tidak membahayakan, membutuhkan sedikit perhatian dalam menanganinya.
1. “Hamfull substances” Adalah barang-barang yang dikemas dalam dan membahayakan lingkungan kalau sampai jatuh ke laut.
2. Sewage”. Adalah kotoran-kotoran dari toilet, WC, urinals, ruangan perawatan, kotoran hewan serta campuran dari buangan tersebut.
3. “Garbage” Adalah tempat sampah-sampah dalam bentuk sisa barang atau material hasil dari kegiatan di atas kapal atau kegiatan normal lainnya di atas kapal.
Peraturan pencegahan pencemaran laut diakui sangat kompleks dan sulit dilaksanakan secara serentak, karena itu marpol Convention diberlakukan secara bertahap. Tanggal 2 Oktober 1983 untuk Annex I (oil). Disusul dengan Annex II (Noxious Liquid Substances in Bulk) tanggal 6 April 1987. Disusul kemudian Annex V (Sewage), tanggal 31 31 Desember 1988, dan Annex III (Hamful Substances in Package) tanggal 1 juli 1982. Sisa Annex IV (Garbage) yang belum berlaku Internasional sampai saat ini.
Annex I MARPOL 73/78 yang memuat peraturan untuk mencegah pencemaran oleh tumpahan minyak dari kapal sampai 6 Juli 1993 sudah terdiri dari 23 Regulation.
Peraturan dalam Annex I menjelaskan mengenai konstruksi dan kelengkapan kapal untuk mencegah pencemaran oleh minyak yang bersumber dari kapal, dan kalau terjadi juga tumpahan minyak bagaimana cara supaya tumpahan bisa dibatasi dan bagaimana usaha terbaik untuk menanggulanginya.
Untuk menjamin agar usaha mencegah pencemaran minyak telah dilaksanakan dengan sebaik-baiknya oleh awak kapal, maka kapal-kapal diwajibkan untuk mengisi buku laporan (Oil Record Book) yang sudah disediakan menjelaskan bagaimana cara awak kapal menangani muatan minyak, bahan bakar minyak, kotoran minyak dan campuran sisa-sisa minyak dengan cairan lain seperti air, sebagai bahan laporan dan pemeriksaan yang berwajib melakukan kontrol pencegahan pencemaran laut.
Kewajiban untuk menigisi “Oli Record Book” dijelaskan di dalam Reg. 20.
Appendix I Daftar dari jenis minyak (list of oil) sesuai yang dimaksud dalam MARPOL 73/78 yang akan mencemari apabila tumpahan ke laut.
Appendix II, Bentuk sertifikat pencegahan pencemaran oleh minyak atau “IOPP Certificate” dan suplemen mengenai data konstruksi dan kelengkapan kapal tanker dan kapal selain tanker. Sertifikat ini membuktikan bahwa kapal telah diperiksa dan memenuhi peraturan dalam reg. 4. “Survey and inspection” dimana struktur dan konstruksi kapal, kelengkapannya serta kondisinya memenuhi semua ketentuan dalam Annex I MARPOL 73/78.
Appendix III, Bentuk “Oil Record Book” untuk bagian mesin dan bagian dek yang wajib diisi oleh awak kapal sebagai kelengkapan laporan dan bahan pemeriksaan oleh yang berwajib di Pelabuhan.
1. J. USAHA MENCEGAH DAN MENANGGULANGI PENCEMARAN LAUT
Pada permulaan tahun 1970-an cara pendekatan yang dilakukan oleh IMO dalam membuat peraturan untuk mencegah dan menanggulangi pencemaran laut pada dasarnya sama dengan yang dilakukan sekarang, yakni melakukan kontrol yang ketat pada struktur kapal untuk mencegah jangan sampai terjadi tumpahan minyak atau pembuangan campuran minyak ke laut. Dengan pendekatan demikian MARPOL 73/78 memuat peraturan untuk mencegah seminimum mungkin minyak yang mencemari laut.
Tetapi kemudian pada tahun 1984 dilakukan perubahan penekanan dengan menitik beratkan pencegahan pencemaran pada kegiatan operasi kapal seperti yang dimuat didalam Annex I terutama keharusan kapal untuk dilengkapi dengan “Oily Water Separating Equipment dan Oil Discharge Monitoring Systems”.
Karena itu MARPOL 73/78 Consolidated Edition 1997 dibagi dalam 3 (tiga) kategori dengan garis besarnya sebagai berikut :
1. Peraturan untuk mencegah terjadinya Pencemaran.
Kapal dibangun, dilengkapi dengan konstruksi dan peralatan berdasarkan peraturan yang diyakini akan dapat mencegah pencemaran terjadi dari muatan yang diangkut, bahan bakar yang digunakan maupun hasil kegiatan operasi lainnya di atas kapal seperti sampah-sampah dan segala bentuk kotoran.
2. Peraturan untuk menanggulangi pencemaran yang terjadi
Kalau sampai terjadi juga pencemaran akibat kecelakaan atau kecerobohan maka diperlukan peraturan untuk usaha mengurangi sekecil mungkin dampak pencemaran, mulai dari penyempurnaan konstruksi dan kelengkapan kapal guna mencegah dan membatasi tumpahan sampai kepada prosedur dari petunjuk yang harus dilaksanakan oleh semua pihak dalam menaggulangi pencemaran yang telah terjadi.
3. Peraturan untuk melaksanakan peraturan tersebut di atas.
Peraturan prosedur dan petunjuk yang sudah dikeluarkan dan sudah menjadi peraturan Nasional negara anggota wajib ditaati dan dilaksanakan oleh semua pihak yang terlibat dalam membangun, memelihara dan mengoperasikan kapal. Pelanggaran terhadap peraturan, prosedur dan petunjuk tersebut harus mendapat hukuman atau denda sesuai peraturan yang berlaku.
Khusus bahan pencemaram minyak bumi, pencegahan dan penanggulanganya secara garis besar dibahas sebagai berikut :
1. a. Peraturan untuk pencegahan pencemaran oleh minyak.
Untuk mencegah pencemaran oleh minyak bumi yang berasal dari kapal terutama tanker dalam Annex I dimuat peraturan pencegahan dengan penekanan sebagai berikut :
1. 1. Regulation 13, Segregated Ballast Tanks, Dedicated Clean Tanks Ballast and Crude Oil Washing (SRT, CBT dan COW)
Menurut hasil evaluasi IMO cara terbaik untuk mengurangi sesedikit mungkin pembuangan minyak karena kegiatan operasi adalah melengkapi tanker yang paling tidak salah satu dari ketiga sistem pencegahan :
• Segregated Ballast Tanks (SBT)
Tanki khusus air balas yang sama sekali terpisah dari tanki muatan minyak maupun tanki bahan bakar minyak. Sistem pipa juga harus terpisah, pipa air balas tidak boleh melewati tanki muatan minyak.
• Dedicated Clean Ballast Tanks (CBT)
Tanki bekas muatan dibersihkan untuk diisi dengan air balas. Air balas dari tanki tersebut, bila dibuang ke laut tidak akan tampak bekas minyak di atas permukaan air dan apabila dibuang melalui alat pengontrol minyak (Oil Dischane Monitoring), minyak dalam air tidak boleh lebih dari 13 ppm.
• Crude Oil Washing (COW)
Muatan minyak mentah (Crude Oil) yang disirkulasikan kembali sebagai media pencuci tanki yang sedang dibongkar muatnnya untuk mengurangi endapan minyak tersisa dalam tanki.
1. 2. Pembatasan Pembuangan Minyak
MARPOL 73/78 juga masih melanjutkan ketentuan hasil Konvensi 1954 mengenai Oil Pollution 1954 dengan memperluas pengertian minyak dalam semua bentuk termasuk minyak mentah, minyak hasil olahan, sludge atau campuran minyak dengan kotorn lain dan fuel oil, tetapi tidak termasuk produk petrokimia (Annex II)
Ketentuan Annex I Reg.9. “Control Discharge of Oil” menyebutkan bahwa pembuangan minyak atau campuran minyak hanya dibolehkan apabila
• Tidak di dalam “Special Area” seperti Laut Mediteranean, Laut Baltic, Laut Hitam, Laut Merah dan daerah Teluk.
• Lokasi pembuangan lebih dari 50 mil laut dari daratan
• Pembuangan Dilakukan Waktu Kapal sedang berlayar
• Tidak membuang minyak lebih dari 30 liter /natical mile
• Tidak membuang minyak lebih besar dari 1 : 30.000 dari jumlah muatan.
1. 3. Monitoring dan Kontrol Pembuangan Minyak
Kapal tanker dengan ukuran 150 gross ton atau lebih harus dilengkapi dengan “slop tank” dan kapal tanker ukuran 70.000 tons dead weight (DWT) atau lebih paling kurang dilengkapi “slop tank” tempat menampung campuran dan sisa-sisa minyak di atas kapal.
Untuk mengontrol buangan sisa minyak ke laut maka kapal harus dilengkapi dengan alat kontrol “Oil Dischange Monitoring and Control System” yang disetujui oleh pemerintah, berdasarkan petunjuk yang ditetapkan oleh IMO. Sistem tersebut dilengkapi dengan alat untuk mencatat berapa banyak minyak yang ikut terbuang ke laut. Catatan data tersebut harus disertai dengan tanggal dan waktu pencatatan. Monitor pembuangan minyak harus dengan otomatis menghentikan aliran buangan ke laut apabila jumlah minyak yang ikut terbuang sudah melebihi amabang batas sesuai peraturan Reg. 9 (1a) “Control of Discharge of Oil”.
1. 4. Pengumpulan sisa-sisa minyak
Reg. 17 mengenai “Tanks for Oil Residues (Sludge)” ditetapkan bahwa untuk kapal ukuran 400 gross ton atau lebih harus dilengkapi dengan tanki penampungan dimana ukurannya disesuaikan dengan tipe mesin yang digunakan dan jarak pelayaran yang ditempuh kapal untuk menampung sisa minyak yang tidak boleh dibuang ke laut seperti hasil pemurnian bunker, minyak pelumas dan bocoran minyak dimakar mesin.
Tanki-tanki penampungan dimaksud disediakan di tempat-tempat seperti :
• Pelebuhan dan terminal dimana minyak mentah dimuat.
• Semua pelabuhan dan terminal dimana minyak selain minyak mentah dimuat lebih dari 100 ton per hari.
• Semua daerah pelabuhan yang memiliki fasilitas galangan kapal dan pembersih tanki.
• Semua pelabuhan yang bertugas menerima dan memproses sisa minyak dari kapal.
1. b. Peraturan untuk menanggulangi pencemaran oleh minyak
Sesuai Reg. 26 “Shipboard Oil Pollution Emergency Plan” untuk menanggulangi pencemaran yng mungkin terjadi maka tanker ukuran 150 gross ton atau lebih dan kapal selain tanker 400 grt atau lebih, harus membuat rencana darurat pananggulangan pencemaran di atas kapal.
1. c. Peraturan pelaksanan dan ketentuan pencegahan dan penanggulangan pencemaran oleh minyak.
Pencegahan dan penaggulangan pencemaran yang datangnya dari kapal tanker, perlu dikontrol melalui pemeriksaan dokumen sebagai bukti bahwa pihak perusahaan pelayaran dan kapal sudah melaksanakannya dengan semestinya.
Istilah-istilah Dalam Stabilitas Kapal
Istilah-Istilah Dalam Stabilitas Kapal
1. Displacement Due to One Centimeter of Trim by Stern (DDT) DDT adalah besar perubahan displasemen kapal yang diakibatkan oleh perubahan trim kapal sebesar 1 cm. Apabila letak titik F dibelakang midship maka displasemen kapal akan lebih besar, sedangkan apabila letak titik F didepan midship maka akan sebaliknya.
2. Displacemen adalah berat air yang dipindahkan karena volume kapal yang berada di bawah sarat kapal (kapal mempunyai kulit) satuan dalam ton. Tiap-tiap WL kita hitung displacemennya dengan cara: hitung luas tiap WL (Awl) dengan simpson. Setelah ketemu luasnya lalu kita hitung displasemen dengan menggunakan simpson pula.
3. Displasement moulded,Displasement moulded adalah berat air yang dipindahkan oleh jumlah volume dari badan kapal yang trcelup didalam air (kapal tanpa kulit).
4. Displasement mouldet = displasement – shell displasement.
5. Wetted Surface Area (WSA) adalah luas permukaan badan kapal yang tercelup untuk tiap-tiap sarat kapal.
6. Shell Displasement, Shell Displasement adalah berat air yang dipindahkan karena sjumlah volume dari kulit kapal yang tercelup didalam air (Satuan dalam Ton)
7. Shell Displasement = WSA x tebal plat x 1.025
8. Longitudinal center of bouyancy to metacentra (LBM),Longitudinal center of bouyancy to meta centra (LBM) adalah jarak titik tekan bouyancy secara memanjang terhadap titik metacentra.15.
9. Longitudinal of keel to metacentra (LKM) Longitudinal of keel to metacentra (LKM) adalah letak metacentra memanjang terhadap lunas kapal untuk tiap-tiap sarat kapal.
10. Longitudinal Center of bouyancy (LCB).LCB adalah jarak titik tekan bouyancy terhadap penampang tengah kapal untuk tiap-tiap sarat kapal.
11. Longitudinal Center Of Floatation (LCF),LCF adalah jarak titk berat garis air terhadap penampang tengah kapal untuk tiap-tiap sarat kapal .
12. Keel to Center of Bouyancy (KB), KB adalah jarak titik tekan hidrostatik ke lunas kapal.
13. Tranverse of Keel to Metacenter (TKM),TKM adalah letak metacentra melintang terhadap lunas kapal untuk tiap-tiap sarat kapal.
14. Ton Per Centimeter Immersion (TPC).TPC adalah jumlah ton yang diperlukan untuk mengadakan perubahan sarat kapal sebesar 1 cm.
Penambahannya = luas garis air x 1 cm
Penambahan V = 0,01 . WPA (m3)
Penambahan berat = 0,01 . WPA . 1,025 (ton).
15. Midship of sectional area. MSA adalah luas dari bagian tengah kapal untuk tiap-tiap sarat kapal. Skala yang digunakan biasanya sama dengan skala sarat air.
16. Water Plan Area (WPA)WPA adalah luas bidang garis air yang telah kita rencanakan dalam lines plan dari tiap-tiap water line. Kemungkinan-kemungkinan bentuk WPA ditinjau dari bentuk alas kapal antara lain :
Kapal dengan rise of floor : pada 0 mWL luas garis air adalah nol karena luasan water line hanya berupa garis-garis lurus (base line), sehingga lengkung WPA dimulai dari titik (0,0).
Kapal tanpa rise of floor : pada 0 mWL ada luasan yang terbentuk dari garis dasar sehingga luas garis air tidak sama dengan nol.
1. Koefisien Water Line (CW),CWL adalah nilai perbandingan antara luas bidang garis air tiap water line dengan sebuah segiempat dengan panjang L dan lebar B dimana L adalah panjang maksimum dari tiap water lindan B adalah lebar maksimum dari tiap water line. Cwl dirumuskan sebagai berikut: Cw = WPA/LxB
2. Midship Coefficient (CM)
CM adalah perbandingan antara luas penampang tengah kapal dengan luas suatu penampang dengan lebar B dan tinggi T.
Catatan : B adalah lebar maksimum kapal tiap WL
L adalah tinggi sarat air tiap WL.
CM = MSA/BxT
3. Block Coefficient
CB adalah perbandingan isi karene dengan suatu blok dengan panjang L, lebar B, tinggi T.
Cb = Volume/L.B.T
4. Prismatic Coefficient (Cp)
Cp adalah perbandingan isi karene dengan volume prisma dengan luas penampang tengah kapal dan panjang L.
Cp = Volume/MSAxL = Cb/Cm
5. Moment To Change Trim One Centimeter (MTC)
MTC adalah momen yang dibutuhkan untuk mengadakan trim kapal sebesar 1 c
Langganan:
Postingan (Atom)